Aku takut untuk mengetahui kenyataan yang ada,
walau tatapan mata itu, seruan kelu bibirmu, dan janji manismu hanyalah dongeng
yang enggan menyentuh cerita akhir. Aku tahu hari-hari bergulir begitu jahat,
hingga sentuhanmu yang sebenarnya lembut terasa begitu kasar oleh indraku. Tak
ada kebahagiaan yang mengamit relungku, ketika kulitmu bersentuhan dengan
kulitku. Tak ada senyuman, hanya ada tatapan heran.
Kenapa harus aku?
Sungguh, aku sempat memercayai retorika yang
melekat dalam pertemuan kita. Jiwaku mengalir bersama kehadiranmu yang
perlahan-lahan mengisi lalu meluap. Ada decak bahagia kala itu. Ketika
kepolosan wajahmu memunculkan perhatianku. Ada kejujuran yang mengatur setiap
pertemuan kita. Sungguh tak ada rekayasa. Sungguh tak ada kebohongan.
Tapi, mengapa sekarang semua terasa berbeda?
Namun, seiring berjalannya waktu, entah mengapa
kautelah mengubah diriku menjadi seseorang yang bahkan tidak kukenal. Bahkan
perasaanku seakan kaupasangi sensor pengatur, agar aku bisa kausakiti, agar aku
bisa kaulukai. Kejujuran itu berubah menjadi rasa sakit yang lukanya tak
terjamah olehmu. Kebahagiaan awal pertemuan kita seakan-akan telah hilang dan
takkan pernah terulang.
Mengapa harus aku? Lagi dan lagi.
Rasanya aku tak berdaya ketika tanganmu membekas
merah di pipiku. Seperti lidahku di gondol kucing, ketika amarahmu memecahkan
beberapa piring. Aku terdiam saat kebencianmu menghambur lewat bibirmu. Aku
seperti patung yang bahkan tak mampu menggerakan tubuhnya. Aku hanya merindukan
kamu yang dulu. Dan... kenyataan pahit yang harus kuterima, bahwa dirimu yang
dulu tak akan pernah kembali.
Kebohonganmu, terlihat biasa di mataku.
Arogansimu adalah makanan sehari-hariku. Kaulatih aku menjadi wanita buta rasa,
yang bahkan tak bisa membandingkan mana luka dan mana bahagia. Tak ada bahagia
dalam semestamu, tapi entah mengapa aku tak dapat lepas dari jerat itu. Aku
terlampau lumrah dengan arogansimu. Aku terlalu menganggap sederhana tamparan
dan makianmu itu.
Aku terlalu sering disakiti, mungkin itulah
sebabnya perasaanku mati. Bahkan aku hanya mampu berdiam diri, ketika
kutahu kau telah membagi hati, untuk seseorang (yang menurutmu) lebih baik
dariku.
Betapapun kamu tak mengerti, bahwa aku membunuh
diriku sendiri hanya untuk membuatmu hidup dan bernapas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar